Bersepeda di minggu pagi selalu mendatangkan inspirasi-inspirasi yang sebelumnya tak pernah terbesit sama sekali, barangkali karena bareng orang-orang “gila” kali ya? Mereka adalah Cak Yanto, Cak Wahyu, Kang Reo, kubilang gila karena bagiku mereka adalah orang-orang yang keluar dari pakem, mungkin sedikit berlebihan, barangkali karena selama ini lingkungan bergaulku hanya sebatas dengan orang-orang “normal”, jadi kalau ada orang yang sedikit nyleneh langsung aku cap “gila”.
Kalau sebelumnya aku bingung mau nulis apa setelah bersepeda malah bingung mau nulis yang mana. Hehehe… Minggu ini, 25 Desember. Rute yang kami lewati masih tetap sama, dari Tambaksari-Stasiun Gubeng-Sudirman-Raya Darmo kemudian sampai ditujuan, Taman Bungkul. Kami berhenti didepan taman, memakir sepeda, kemudian memulai “ritual” diskusi serampangan sambil mata memandang liar kesana-kemari mencari sesuatu untuk diamati dan diterjemahkan dengan hati.
###
Bukan Cak Wahyu namanya kalau tidak usil, ada saja tingkahnya yang membuat kami tergelak. Ia paling suka jepret-jepret, naluri menjepretnya memang tak perlu diragukan lagi, kalau BB sudah pas dalam genggaman dan siap dalam posisi, apapun objek yang ia jepret, hasilnya selalu mempunyai daya tarik tersendiri bagi orang yang melihat. Cak Yanto lain lagi, Ia lebih suka mengamati deretan sepeda kebo di depan Taman, ia memang seorang pecinta sepeda kebo sejati, buktinya ia mengetahui setiap detail masing-masing sepeda .
“Ini KOPLO, keluaran Jerman, semuanya onderdilnya masih orisinil, harganya bisa sampai jutaan kalau kondisinya masih seperti ini le !” katanya padaku, sambil menunjuk sepeda kebo berwarna coklat tua di depannya.
Sementara Kang Reo orangnya sedikit pendiem, tapi responsif banget kalau sudah diajak ngobrol masalah sepeda sport dan semua yang berkaitan tentangnya. Aku dan Kang Reo adalah “pengamat”, hanya berkomentar kalau ditanya oleh Cak Wahyu tentang hasil jepretannya atau penjelasan Cak Yanto tentang sepeda kebo. Namanya juga pengamat, jadi yang kulakukan ya mengamati, mengamati apa saja yang pantas diamati.
“Heh… balik yuk, udah jam 8, keburu panas nanti, CD belum dicuci soalnya…” Gaya khas Cak Wahyu, ia selalu menyelipkan humor di sela-sela kata-katanya.
“Kan sekarang udah punya istri to bro, masak masih nyuci sendiri” ledek Cak Yanto.
“Cewek jaman sekarang mana bisa nyuci bro” Kang Reo ikut-ikutan meledek.
“Wah kalian ini, kalau masalah CD itu privat bro, hihihi… memang sepertinya istri masih perlu dikursus bro”
“Emangnya CD kalau dicuci nggak rusak ya?” Tanyaku polos.
“Akakakakakakakakakakakaka…”
“Bukan yang CD itu tapi CD ini !” jawab Cak Yanto sambil menunjuk ***nya. #garuk-garuk kepala.
Oh ya, minggu ini nggak ada Car Freeday, pak polisinya pada sibuk jagain gereja, natalan. Terpaksa kami harus menepi karena mobil dan sepeda motor memenuhi jalan. Saat perjalanan pulang kami mampir dulu di giras (warkop) di daerah tegalsari.
“Katanya takut kesiangan, kok malah mampir ngopi to cak?” tanyaku pada Cak Wahyu sesampainya di giras.
“Masalah cucian itu cuma alasan, sebenernya takut kesiangan ngopi aja, hehehe…” #tepokjidat.
Tanpa basa-basi Cak Yanto langsung memesan 3 cangkir kopi hitam untuk kami dan 1 cangkir kopi jahe sepesial, untuknya. Tanpa ada yang mengomando kemudian ia memulai obrolan .
“Bro… lihat photografer plontos di taman tadi nggak?”
“Yang jeprat-jepret topeng monyet tadi ?” Jawab Cak Wahyu sambil bertanya balik.
“Opo’o lho? (emangnya kenapa) Sahut Kang Reo.
“Yup betul… nggak papa bro, kayaknya dia phothografer professional, keliatan dari caranya njepret”
“Kameranya tadi merknya *** bro, beberapa hari yang lalu aku iseng-iseng browsing tentang kamera merk itu…” Cak Wahyu menyulut rokoknya sebelum melanjutkan kata-katanya “Harga telenya aja nyampek 15 jutaan, itu telenya doang lho, belum kameranya.
“Gendeng cuk ! mending tak pakai buat mbangun pesantren aja bro…” gurau Kang Reo.
“Makanya nggak heran kalau hasil jepretannya ciamik sorro, tapi menurutku sekarang ini nggak ada yang namanya fhothografer sejati, yang ada adalah photoshoper sejati” Asap mengepul dari cela bibir Cak Yanto saat ia bicara, berhenti sejenak kemudian kembali melanjutkan “Bukan tanpa alasan aku berkata seperti itu, kakakku dulu seorang photografer, ia memakai kamera yang biasa disebut orang kamera klise, dulu belum ada kamera slr atau digital apalagi software-software editing, jadi ia harus benar-benar bekerja keras untuk mendapatkan hasil jepretan yang bagus, sebab sekali jepret nggak bisa diutak-atik lagi. Sekarang, njepret pakek kamera hp aja bisa diedit sesuka hati.
“Setuju bro, kecanggihan teknologi yang di persepsikan juga sebagai kemajuan manusia bisa jadi malah sebaliknya, orang-orang sekarang hidupnya serba mudah, serba instan. Photografer sekarang cenderung mengaggap remeh yang namanya momentum, mereka terlalu mendewakan kecanggihan teknologi “Kalau kurang pas kan bisa diedit mas…” kata si *** temanku yang seorang phothografer”. Cak Wahyu sepertinya sependapat dengan Cak Yanto.
“Eh… ada lagi, guru si *** tadi adalah salah seorang photografer kondang di negri ini, setiap model yang di jepretnya pasti langsung naik daun…
“Tapi bahaya lho bro kalau naik daun…”potong Kang Reo
“Ahahaha, terserahlah apa istilahnya, yang pasti kata si *** sebelum dijepret setiap model harus mau “dimasuki” dulu, Cak Wahyu tersenyum geli sewaktu mengakhiri kalimatnya.
Yah…aku memang benar-benar masih polos, sebuah pertanyaan konyol keluar dari mulutku “Maksudnya “dimasuki”?
“Akakakakakakaka…” sekali lagi mereka menertawakan pertanyaanku.
“Maksudnya ya “dimasuki “ “lobangnya…” dengan tawa tertahan Kang Reo menjawab pertanyaanku.
Tanpa terasa cangkir kopi kami hanya menyisakan ampas, Namun gayengnya obrolan ini sepertinya belum akan berakhir. Setelah itu kami saling berkisah tentang pengalaman pribadi, saling berbagi informasi dan masukan-masukan. Sebelum beranjak dari duduk Cak Wahyu membagi-bagikan gantungan kunci pada kami, oleh-oleh dari mbolangnya di Jogja.
###
Sayang sekali, pagi pertama di tahun 2012 tadi aku hanya bersepeda sendiri, mungkin karena cuaca kurang bersahabat sehingga teman-teman “gila”ku tak tampak batang kemalu**nya (ups… :P)
Sisa-sisa sampah yang keluar dari rahim perayaan tahun baru serta wajah-wajah murung para penjual terompet sedikit mengurangi kesepianku.
referensi: sahabat Kompasiana