K-Pop menjamur di mana-mana. Banyak pula girl-boy-band dalam negeri yang menjiplak gaya-gaya mereka. Penggemarnya tak kalah banyak. Hampir seluruh anak usia sekolah di negeri ini menyukai, kalau tidak bisa dibilang ‘menggilai’ (bukan menggilani, lho. Hehe.. apasih) produk import dari Korea Selatan ini. Tak hanya musik, negara tersebut juga mengimpor banyak drama, film, makanan, mode bahkan sampai alat-alat
make up. Fenomena ini sudah berlangsung selama beberapa tahun terakhir ini. Bukannya surut, tapi malah membludak. Hal ini membuat saya berpikir ke beberapa dekade sebelumnya, tepatnya tahun 80 dan 90-an. Pada masa itu, hal-hal masih lebih sederhana, anak-anak seumuran TK dan SD senengnya nonton Unyil dan Doraemon, sama nyanyiin lagu-lagu “Abang Tukang Bakso” dan “Semut-semut Kecil”-nya Melisa.
Lihat anak SD sekarang. Sukanya jingkrak-jingkrak mengikuti gaya K-Pop Star seperti SNSD/Girls Generation dan 2PM. Mereka hapal luar kepala lagu-lagunya, padahal bahasanya belum tentu mereka mengerti. Bahkan mereka hapal nama-nama anggotanya, yang jumlahnya ga main-main itu. SM*SH dan Cherry Belle yang asli Indonesia juga ikut mewarnai hari-hari mereka. Pengaruh televisi? Ya, ini yang berperan paling besar. Tetapi tak bisa dipungkiri bahwa media lain juga berperan penting. Internet misalnya, anak SD, bahkan anak TK sekarang udah ga gaptek lagi soal internet. Bandingkan dengan anak SD zaman dulu yang setelah selesai nonton Unyil langsung main lari-larian ke luar, entah main petak umpet, gobak sodor atau mainan lainnya.
Korea pun ga main-main urusan K-Pop ini. Gempurannya tidak hanya melanda Indonesia, tapi juga dunia. Sesuatu yang sudah direncanakan, menurut saya (siapa sih saya? Hehe.. apasih lagi). ‘Kemasan’ girl-boy-band-nya dibuat seapik dan semenarik mungkin buat mata kaum muda. Cantik, ganteng, putih, imut, unyu-unyu, dll dll. Kaum yang sudah berumur pun tak jarang terkena jeratnya. Jika sekarang mereka disuruh milih, nonton Unyil apa nonton K-Pop Star pujaan mereka, saya kira anda sudah bisa menebak jawabannya.
Orang tua pun berperan penting. Kurang kuatnya akar ajaran tentang tradisi negeri kita sendiri membuat generasi muda kita gampang ‘tersapu gempuran ombak’ Korea. Kapan ya saya bisa melihat generasi muda Indonesia beramai-ramai terobsesi mempelajari gamelan, misalnya?
Salam dari hati, diniwidi.
Artikel Terkait: