Sebaliknya, barang dagangan Cina, Terutama porselen
dan kain sutera, dijual para saudagarnya dengan harga yang
lebih murah di Makassar daripada yang bisa didapat oleh
pedagang asing di Negeri Cina sendiri. Adanya pasaran baru
itu, mendorong kembali aktivitas maritim penduduk kota dan
kawasan Makassar. Terutama penduduk pulau-pulau di kawasan
Spermonde mulai menspesialisasikan diri sebagai pencari teripang,
komoditi utama yang dicari para pedagang Cina, dengan menjelajahi
seluruh Kawasan Timur Nusantara untuk men¬carinya; bahkan,
sejak pertengahan abad ke-18 para nelayan-pelaut
Sulawesi secara rutin berlayar hingga pantai utara Australia,
di mana mereka tiga sampai empat bulan lamanya membuka puluhan
lokasi pengolahan teripang. Sampai sekarang, hasil laut masih
merupakan salah satu mata pencaharian utama bagi penduduk
pulau-pulau dalam wilayah Kota Makassar.
Setetah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda menggantikan
kompeni perdagangan VOC yang bangkrut pada akhir abad ke-18,
Makassar dihidupkan kembali dengan menjadikannya sebagai
pelabuhan bebas pada tahun 1846. Tahun-tahun berikutnya
menyaksikan kenaikan volume perdagangan yang pesat, dan kota
Makassar berkembang dari sebuah pelabuhan backwater menjadi
kembali suatu bandar internasional.
|
Dengan semakin berputarnya roda perekonornian Makassar,
jumlah penduduknya meningkat dari sekitar 15.000 penduduk
pada pertengahan abad ke-19 menjadi kurang lebih 30.000 jiwa pada awal
abad berikutnya. Makassar abad ke-19 itu dijuluki "kota kecil
terindah di seluruh Hindia-Belanda" (Joseph Conrad, seorang
penulis Inggris-Potandia terkenal),dan menjadi salah satu port
of call utama bagi baik para pelaut-pedagang Eropa, India dan
Arab dalam pemburuan hasil-hasil hutan yang amat laku di
pasaran dunia maupun perahu-perahu pribumi yang beroperasi di
antara Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Maluku. |
Pada awal abad ke-20, Belanda akhirnya menaklukkan
daerah¬daerah independen di Sulawesi, Makassar dijadikan sebagai
pusat pemerintahan kolonial Indonesia Timur. Tiga-setengah
dasawarsa Neerlandica, kedamaian di bawah pemerintahan kolonial
itu adalah masa tanpa perang paling lama yang pernah dialami
Sulawesi Selatan, dan sebagai akibat ekonominya berkembang
dengan pesat. Penduduk Makassar dalam kurun waktu itu meningkat
sebanyak tiga kali lipat, dan wilayah kota diperluas ke semua
penjuru. Dideklarasikan sebagai Kota Madya pada tahun 1906,
Makassar tahun 1920-an adalah kota besar kedua di luar Jawa
yang membanggakan dirinya dengan sembilan perwakilan asing,
sederetan panjang toko di tengah kota yang menjual barang-barang
mutakhir dari seluruh dunia dan kehidupan sosial-budaya yang
dinamis dan kosmopolitan.
Perang
Dunia Kedua dan pendirian Republik Indo¬nesia sekali lagi
mengubah wajah Makassar. Hengkangnya sebagian besar warga
asingnya pada tahun 1949 dan nasionalisasi perusahaan-perusahaan
asing pada akhir tahun 1950-an menjadi¬kannya kembali sebuah
kota provinsi. Bahkan, sifat asli Makassar-pun semakin menghilang
dengan kedatangan warga baru dari daerah-daerah pedalaman
yang berusaha menyelamatkan diri dari kekacauan akibat berbagai
pergolakan pasca¬ revolusi. Antara tahun 1930-an sampai tahun
1961 jumlah penduduk meningkat dari kurang lebih 90.000 jiwa
menjadi hampir 400.000 orang, lebih daripada setengahnya pendatang
baru dari wilayah luar kota. Hal ini dicerminkan dalam
penggantian nama kota menjadi Ujung Pandang berdasarkan
julukan ”Jumpandang” yang selama berabad-abad lamanya menandai
Kota Makassar bagi orang pedalaman pada tahun 1971. Baru pada
tahun 1999 kota ini dinamakan kembali Makassar, tepatnya 13
Oktober berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 86 Tahun 1999
Nama Ujung Pandang dikembalikan menjadi Kota Makassar dan
sesuai Undang-Undang Pemerintahan Daerah luas wilayah
bertambah kurang lebih 4 mil kearah laut 10.000 Ha, menjadi
175.77 km |
|